
Ia baru tiba di kota itu usai menempuh beberapa hari kombinasi perjalanan udara dan darat dari Indonesia.
Rasa penasaran menyelimuti Julius yang kala itu masih bersemat pangkat Letnan Satu, “di mana kapalku?”
Dalam bayangan Julius muda, kapal yang akan disiapkan untuk dibawa pulang ke Indonesia itu tidak jauh berbeda dengan kapal perang yang pernah diawakinya dahulu, yakni KRI Teluk Ende, dan KRI Teluk Johannes.
Namun, setelah akhirnya menjejakkan kaki di kapal yang dilabeli nama KRI Teluk Parigi-539 itu, ekspektasi Julius sirna seketika.
“Apa yang saya lihat? Amazing! Sampah di mana-mana. Sampah besi, kabel-kabel semrawut bergelantungan, tak ada penerangan. Berantakan,” kenang Laksamana Muda TNI Julius dalam , beberapa waktu lalu.
Dari tempat sampah di dalam kapal, ia memungut secarik kertas. Isinya adalah torehan lukisan kemegahan KRI Teluk Parigi yang lengkap dengan alutsista di dek dan buritan.
Tetapi, Julius tidak menemukan kemegahan itu di hadapannya. Indera matanya hanya menangkap seonggok kapal perang yang porak poranda.
“Jadi, saya sempat terbengong-bengong, ini luar biasa,” kenang Julius.
Julius diketahui adalah salah satu dari 12 orang tim aju yang diberangkatkan TNI AL ke Jerman untuk menjemput 39 kapal perang.
Kapal perang itu meupakan hasil pengadaan yang dipimpin Menteri Negara Riset Teknologi B.J Habibie.
Salah satu kapal perang yang mesti dibawa pulang adalah KRI Teluk Parigi-539, kapal yang dijejaki Julius sore itu.
Selanjutnya, Julius dan rekan-rekannya mesti bekerja keras ‘menyulap’ kapal perang itu agar bisa dibawa pulang ke Indonesia.
Tidak hanya itu, mereka juga dihadapkan pada bahaya dari serangan alutsista negara yang berkonfrontasi dengan Jerman kala itu dan juga kendala tingginya gelombang samudera selama perjalanan pulang.
Tonton penuturan Julius selengkapnya di episode berikut ini: