
Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan bukanlah semboyan kosong—itulah kerangka strategis yang harus dijalankan secara utuh dan konsisten jika kita ingin menjadi bangsa besar.
Bangsa ini sebenarnya memiliki segala potensi untuk itu. Kita punya sumber daya alam melimpah, wilayah luas, dan keberagaman budaya yang luar biasa. Namun kita gagal menjadikannya kekuatan karena kehilangan arah dalam sistem.
Ketika politik dikuasai oleh uang dan ekonomi oleh oligarki (untuk tidak menyebut negara swasta), maka keadilan sosial tak akan pernah terwujud. Demokrasi hanya menjadi prosedur lima tahunan yang disusupi transaksi dan manipulasi.
Pancasila seringkali hanya menjadi ornamen, bukan nilai hidup. Padahal, Pancasila bukan kata benda yang diberi begitu saja (given), ia justru adalah kata kerja.
Ideologi ini harus diwujudkan dalam tindakan, dalam keputusan politik, dalam sistem ekonomi, dan dalam kebijakan pendidikan.
Percaya pada Tuhan, menghormati kemanusiaan, membangun persatuan, menegakkan demokrasi hikmat, dan menciptakan keadilan sosial bukanlah narasi, tetapi perintah.
Sayangnya, keadilan sosial masih jauh dari nyata. Sebagian besar rakyat masih terpinggirkan, dengan akses terbatas pada pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Ketimpangan terus melebar, dan pembangunan tidak merata.
Di wilayah selatan Jawa Barat, di tempat asal saya, Tasikmalaya, misalnya, IPM masih di bawah rata-rata nasional. Kemajuan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok yang punya akses terhadap modal dan kekuasaan.
Kegagalan mewujudkan sila kelima ini tidak bisa dilepaskan dari korupsi yang struktural, biaya politik terlalu mahal, dan struktur pemerintahan yang boros. Pemilu seringkali hanya menciptakan kontestasi uang, bukan kontestasi gagasan.
Sementara itu, sila keempat tentang “hikmat kebijaksanaan” dilupakan begitu saja. Demokrasi direduksi menjadi suara terbanyak, padahal mestinya dipandu oleh kebijaksanaan kolektif demi kemaslahatan bersama.
Sudah saatnya sistem politik kita direvisi secara mendasar. Pembiayaan politik harus 100 persen dari negara.
Bukan hanya untuk memastikan transparansi, tapi juga untuk membuka jalan bagi anak-anak muda yang memiliki integritas dan gagasan, tapi tidak memiliki akses terhadap dana besar.
Kaderisasi yang sehat hanya mungkin terjadi bila sistem membuka peluang yang adil. Jika tidak, maka partai akan terus didominasi oleh pemilik modal dan dinasti politik, dan demokrasi kita akan tetap rapuh.
Selain itu, keuangan partai politik harus transparan. Ini bukan semata urusan teknis, tapi menyangkut kepercayaan publik dan integritas sistem.