NAGA138 – Paradoks Fiskal dan Ironi Sosial di Kota Medan

Puluhan remaja yang tergabung dalam geng motor ditangkap saat hendak tawuran di dua lokasi di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan pada Minggu (21/7/2024).

Lihat Foto

Kota Medan, yakni “Jangankan laporan, pagar pun bersih”.

Ungkapan ini menyiratkan fasad yang terawat sempurna, menyembunyikan realitas yang lebih kompleks dan kurang mengilap.

Ironisnya, sentimen ini menemukan gema yang ganjil dalam tata kelola fiskal kota. Antara tahun 2021 dan 2023, Pemerintah Kota Medan secara konsisten meraih predikat idaman “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP) atas laporan keuangannya dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, penghargaan ini berdiri dalam kontras yang tajam dengan penyakit sosial kota yang kronis.

Saat pembukuan tampak “bersih”, Medan bergelut dengan tingkat pengangguran yang tinggi, mencapai 8,67 persen pada 2023. Lalu angka kriminalitas yang mengkhawatirkan, dengan kasus yang dilaporkan melonjak dari 7.358 pada 2022 menjadi 9.289 pada 2023.

Tulisan ini membedah paradoks tersebut. Dengan menganalisis Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dari 2018 hingga 2023, artikel ini menghubungkan temuan audit yang berulang di area kritis, mulai dari belanja langsung, bantuan sosial, dan pengelolaan aset hingga realita kegagalan sosial yang terdokumentasi ini.

Analisis ini mempertanyakan makna substantif dari opini WTP ketika realitas yang dialami warga jauh dari ideal, mengisyaratkan model pemerintahan yang lebih memprioritaskan metrik yang bisa diaudit ketimbang hasil sosial-ekonomi nyata.

Kegagalan dalam tata kelola seperti ini tidak selalu lahir dari penyimpangan aktor atau politik transaksional, tetapi sering kali merupakan anomali sistemik yang justru perlu dijelaskan secara struktural (Bovens & Hart, 1996).

Metafora “pagar pun bersih” menjadi sangat pas: di tengah sibuknya para pejabat menata sistem dengan piawai untuk memoles eksteriornya, rumah warga pun ‘dibersihkan’ secara harafiah.

Kilau opini WTP: Kemenangan di atas kertas?

Opini WTP adalah predikat tertinggi dalam audit sektor publik, menandakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai standar akuntansi pemerintah.

Ini adalah syarat perlu, tapi tidak cukup untuk tata kelola yang baik. Poin krusial yang sering luput adalah bahwa opini WTP tidak berarti ketiadaan masalah.

LHP BPK untuk Medan pada 2022 dan 2023, meskipun memberikan WTP, secara eksplisit menyatakan bahwa auditor menemukan “kelemahan dalam sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hal ini menegaskan bahwa penampilan formal sering kali tidak cukup; penjelasan terhadap kegagalan perlu mempertimbangkan karakteristik sistem yang mendasarinya (Perrow, 1984).

Dalam konteks ini, orientasi politik birokrasi terhadap kepatuhan simbolik juga kerap membahayakan proses transformasi yang seharusnya dirasakan masyarakat (Scott, 1998).

Ini mengungkapkan inti dari paradoks: WTP adalah hasil dari audit keuangan, bukan audit kinerja. Ia mengonfirmasi bahwa angka-angka dalam laporan telah dihitung dengan benar, bukan bahwa uang tersebut dibelanjakan secara efektif atau mencapai dampak sosial yang dituju.

Bahayanya terletak pada “efek halo” dari label WTP, yang dapat meninabobokan para pengambil kebijakan dan publik dalam rasa aman yang palsu.

Obsesi untuk meraih dan mempertahankan gelar WTP berisiko menggeser fokus dari efektivitas program menjadi sekadar kepatuhan pelaporan.

Sistem menjadi ahli dalam mencentang kotak, sementara tujuan utama dari dana publik di dalam kotak-kotak itu tidak tercapai.

Mengintip di balik pagar: Penyakit turunan keuangan Medan

Pandangan lebih dalam pada temuan-temuan audit BPK mengungkap pola “penyakit turunan” dibalut dalam kelemahan sistemik yang bertahan dari tahun ke tahun, bahkan di bawah kilau opini WTP.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *