
Salah satu spanduk berisi permintaan warga yang meminta pemerintah memberantas para mafia tanah.
“Rakyat Menderita, Mafia Tanah Bahagia,” bunyi salah satu spanduk yang dibawa warga Kebon Sayur.
Selain itu, ada juga spanduk yang bertuliskan, “Tangkap dan Adili Mafia Tanah”, “Hentikan Penggusuran dan Perusakan Lingkungan di Wilayah Kebon Sayur”, “Kami Para Petani Tuntut Tuntas Para Mafia Tanah”, “Land Reform Tanah untuk Rakyat”.
Salah satu peserta aksi, Wanti Fatimah (30), mengatakan, warga mulai berdatangan sejak pagi hari.
“Kami dari Kebon Sayur, Kapuk Cengkareng. Datang ke sini jam tujuh pagi, dan sekitar jam sebelas tadi sudah berkumpul kurang lebih lima ratus orang,” ujar Wanti saat ditemui di lokasi aksi.
Warga yang hadir berasal dari tiga rukun tetangga (RT) dan dua rukun warga (RW) di wilayah Kebon Sayur. Aksi ini merupakan bentuk perlawanan atas rencana penggusuran yang dinilai merugikan warga.
“Kami membawa tuntutan agar penggusuran dihentikan. Kami juga minta kepada Gubernur untuk turun tangan menghentikan perusakan lingkungan di wilayah kami,” kata dia.
Aksi hari ini merupakan rangkaian protes yang telah dilakukan warga sebelumnya. Warga sebelumnya telah lebih dulu menyampaikan aspirasi ke kantor kelurahan dan wali kota Jakarta Barat.
“Ini sudah aksi yang ketiga kali. Pertama ke kantor lurah, lalu ke wali kota. Sekarang kami ke Balai Kota. Kalau tidak ada tanggapan dari Gubernur, kemungkinan besar akan ada aksi lanjutan,” ujar dia.
Hingga pukul 14.05 WIB, massa masih bertahan di depan Balai Kota dengan pengawalan dari aparat keamanan. Aksi direncanakan akan berlangsung hingga sekitar pukul 14.30 WIB.
Sebelumnya, Ketua Aliansi Perjuangan Warga Kebon Sayur Kapuk, M Andreas, mengatakan, sejak awal Maret 2025, warga terusik oleh keberadaan alat berat dan truk pengangkut tanah yang masuk ke wilayah mereka tanpa izin resmi.
“Aktivitas itu dijaga oleh sekelompok orang yang diduga preman bayaran, dan telah menggusur rumah serta lapak usaha milik warga,” ujar Andreas, Senin.
Andreas menuding penggusuran tersebut dilakukan atas perintah seseorang, yang mengklaim memiliki tanah seluas 21,5 hektare berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 188/PK/Pdt/2019. Namun, wilayah tersebut telah dihuni oleh sekitar 3.000 kepala keluarga selama lebih dari 20 tahun.
“Aktivitas penggusuran tersebut atas perintah seseorang berinisial SHA sesuai dengan nama yang terpampang dalam papan nama yang terpasang di pintu gerbang masuk perkampungan warga sebagai seseorang yang mengklaim tanah seluas 21,5 hektare,” kata dia.
“Tidak ada sosok SHA yang pernah muncul ke publik maupun menunjukkan bukti kepemilikan yang sah. Bahkan pemerintah Kelurahan Kapuk sendiri menyatakan tidak menerima pemberitahuan terkait aktivitas alat berat itu,” lanjut Andreas.
Warga telah beberapa kali mencoba menghentikan aktivitas alat berat, tetapi kerap mendapat intimidasi dari pihak yang diduga sebagai preman.