NAGA138 – Koalisi Sipil Nilai Perpres Perlindungan Jaksa Tidak Mendesak dan Berpotensi Langgar Demokrasi

ilustrasi Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Lihat Foto

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara Terhadap Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan.

Mereka menilai, beleid yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 21 Mei 2025 itu tidak memiliki urgensi serta membuka ruang bagi kembalinya peran ganda militer atau Dwifungsi TNI.

Direktur Imparsial Ardi Manto yang merupakan perwakilan koalisi mengatakan, penerbitan Perpres tersebut tidak dibutuhkan dalam sistem presidensial yang berlaku.

“Koalisi menilai Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak dibutuhkan. Dalam sistem presidensial, tanpa ada Perpres 66/2025, Presiden sesungguhnya dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan dan/atau dapat meminta kepolisian untuk terlibat dalam bantuan pengamanan,” kata Ardi, dalam keterangannya, Jumat (23/5/2025).

Di lain sisi, menurut koalisi, belum ada realitas ancaman nyata terhadap kejaksaan yang membutuhkan pelibatan militer.

Pelibatan militer justru dianggap preseden buruk karena mengaburkan batas antara pertahanan negara dan penegakan hukum.

“Kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada dan tidak ada ancaman militer yang mengharuskan Presiden ataupun Panglima TNI mengerahkan militer (TNI) ke kejaksaan,” ungkap dia.

“Dengan demikian Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI,” sambung dia.

Koalisi juga menyoroti munculnya Perpres 66/2025 yang dinilai berkaitan erat dengan polemik Surat Telegram Panglima/KASAD sebelumnya, yang mengerahkan hampir 6.000 personel TNI ke lingkungan kejaksaan.

Ardi menyebut Perpres ini sebagai bentuk “kamuflase hukum” untuk membenarkan langkah Panglima TNI yang kontroversial.

“Ini adalah model politik fait accompli yang sama sekali tidak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi,” tutur Ardi.

“Seharusnya, yang dilakukan oleh Presiden adalah mencabut surat telegram tersebut dan bukan malah membentuk Perpres 66/2025. Dalam konteks ini, Presiden seolah-olah sedang membenarkan kesalahan Panglima TNI dengan jalan menerbitkan Perpres 66/2025,” tambah dia.

Lebih jauh, Koalisi menyinggung Perpres serupa sebelumnya, yakni Perpres 148/2024, yang menurut mereka digunakan untuk melegalkan pengangkatan Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet, meski pengangkatan tersebut awalnya dianggap keliru.

Terkait isi Perpres 66/2025, Koalisi menilai substansinya justru tidak merujuk pada Undang-Undang TNI maupun Polri, meskipun mengatur pelibatan kedua institusi tersebut.

Perpres ini disebut hanya mencantumkan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar hukum, tanpa menjelaskan kaitan pelibatan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur Pasal 7 UU TNI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *