
Pertambangan fosfat, yang hampir 90 persen digunakan sebagai bahan pupuk, langsung mendongkrak penerimaan ekspor negeri kecil yang hanya seluas 21 km persegi itu. PDB per kapitanya tertinggi kedua di dunia saat itu.
The New York Times menjuluki Nauru sebagai “pulau kecil terkaya di dunia”.
Namun, cerita indah itu hanya sebentar. Pertambangan fosfat membawa kutukan: ekonomi Nauru bertumpu sepenuhnya pada fosfat, sementara sektor industri dan pertanian tak berkembang.
Tidak ada diversifikasi ekonomi. Untuk mengantisipasi menurunnya cadangan fosfat, Nauru membentuk dana perwalian (Trust Fund).
Namun, apa artinya menyimpang kekayaan di brankas jika kuncinya dipegang para maling. Di tangan pejabat Nauru yang korup, dana ini dipakai membeli aset tak profit, investasi yang berujung gagal, bahkan dihamburkan untuk proyek nir-manfaat.
Misalnya, mereka membuang uang 2 juta dollar AS untuk mendanai proyek musikal bertema Leonardo da Vinci di London, Inggris.
Memasuki 1990-an, ekspor fosfat mulai menurun, Nauru mulai terlilit krisis keuangan. Negeri itu berubah menjadi tempat pencucian uang.
Yang lebih mengerikan, penambangan fosfat tanpa kendali menyebabkan 70 persen wilayah Nauru tandus dan tak bisa dihuni lagi.
Kisah Nauru adalah pelajaran paling gamblang dari kutukan ekstraktivisme. Cerita Nauru bukan dongeng di seberang lautan, tetapi sangat mungkin juga terjadi pada kita.
Kutukan sumber daya
Tahun 1993, ketika Nauru mulai terpuruk dalam kehancurannya, seorang ahli geografi ekonomi dari Lancaster University, Richard Auty memperkenalkan konsep: kutukan sumber daya alam atau paradoks keberlimpahan (resource curse).
Menurut Auty, negara-negara yang berkelimpahan sumber daya, seperti minyak dan gas, seringkali mengalami performa ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang lebih buruk dibanding negara-negara yang sumber dayanya terbatas.
Penyebabnya cukup beragam. Pertama, ketergantungan terhadap eksploitasi SDA memicu penyakit yang disebut penyakit Belanda (Dutch Disease).
Ketika negara mendadak kaya karena ekspor komoditas, misalnya migas dan minerba, maka mata uangnya akan menguat.
Penguatan mata uang itu berdampak pada ekspor non-gas, terutama manufaktur dan pertanian, menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif. Di sisi lain, karena mata uang asing lebih murah, impor juga meningkat pesat.