NAGA138 – Menafsir Diplomasi Budaya Presiden Macron ke Indonesia

Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Presiden Perancis Emmanuel Macron berdiri di atas mobil Maung Tangguh saat memeriksa pasukan di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah, Kamis (29/5/2025).

Lihat Foto

Presiden Perancis Emmanuel Macron dalam bahasa Indonesia ketika berkunjung ke Akademi Militer di Magelang, Kamis (29/05/2025).

Tepuk tangan hangat menyambut sambutan itu, bukan semata karena ucapan tersebut, tetapi karena pesan simbolik yang dikandungnya: penghormatan terhadap bahasa dan budaya bangsa mitra.

Kunjungan Presiden Macron ke Magelang merupakan bagian dari rangkaian lawatan kenegaraan ke Indonesia yang sebelumnya mencakup pertemuan bilateral dengan Presiden Prabowo Subianto di Jakarta.

Di balik kerja sama strategis di bidang pertahanan, energi, dan teknologi, terdapat satu dimensi penting yang kerap luput dari sorotan utama: diplomasi budaya.

Dalam studi hubungan internasional kontemporer, diplomasi budaya dianggap sebagai bagian integral dari soft power yang diperkenalkan oleh Joseph Nye (2004).

Nye menekankan bahwa kekuatan sebuah negara tidak hanya bergantung pada militernya (hard power), tetapi juga pada kemampuannya untuk menarik simpati dan menciptakan pengaruh melalui budaya, nilai, dan kebijakan luar negeri yang sah (legitimate foreign policy).

Sementara itu, Jan Melissen, pakar diplomasi dari Netherlands Institute of International Relations, menyatakan bahwa diplomasi budaya adalah “investasi jangka panjang terkait pandangan dan reputasi sebuah negara” tidak bisa dipisahkan dari diplomasi publik dalam membentuk persepsi masyarakat luar negeri terhadap suatu bangsa (Melissen, 2005).

Dalam konteks ini, penggunaan bahasa Indonesia oleh Presiden Macron bukan hanya sopan santun protokoler, melainkan bagian dari strategi symbolic communication yang mengedepankan empati, keterbukaan, dan keterlibatan emosional—elemen kunci dalam diplomasi budaya.

Ucapan Macron dalam bahasa Indonesia mengingatkan kita pada momen serupa saat Presiden Barack Obama berkata “Saya suka bakso” dalam kunjungannya ke Jakarta pada 2010.

Ucapan seperti itu mencerminkan cultural signaling – isyarat simbolik yang menunjukkan rasa hormat terhadap identitas budaya bangsa mitra.

Bahasa dalam hal ini berfungsi tidak hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai soft connector yang mampu melampaui batas protokol dan menyentuh ranah afeksi publik.

Diplomasi budaya adalah praktik menggunakan unsur budaya – bahasa, seni, kuliner, pendidikan, hingga warisan sejarah – sebagai alat memperkuat hubungan bilateral.

Dalam konteks Indonesia – Perancis, kerja sama ini telah dilembagakan dalam bentuk Perjanjian Kebudayaan yang ditandatangani oleh Menteri Kebudayaan kedua negara.

Perjanjian ini mencakup pertukaran pelajar, kerja sama museum, pelatihan bahasa, serta promosi warisan budaya takbenda.

Indonesia pun aktif mengarusutamakan diplomasi budaya ke Perancis. Pameran seni Indonesia di Musée du Quai Branly, pertunjukan gamelan dan tari Bali di berbagai kota Perancis, serta kehadiran Centre Culturel Indonésien di Paris menjadi bentuk nyata dari upaya memperkenalkan identitas budaya nasional ke ranah internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *