
Denny Indrayana, menyatakan Gubernur Kalimantan Selatan Muhidin hingga Pangdam VI Mulawarman meminta pencabutan gugatan Pilwalkot Banjarbaru.
“Gubernur Kalsel dengan kop surat resmi bergambar aruda berwarna kuning emas berkirim surat kepada pemohon kami (surat itu berisi permintaan pencabutan gugatan pilwalkot Banjarbaru),” kata Denny dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/5/2025).
Denny Indrayana adalah kuasa hukum dari Syarifah Hayana, penggugat Pilwalkot Banjarbaru dengan nomor perkara 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025.
Denny mengatakan ada enam intimidasi yang dialami kliennya, salah satunya adalah intimidasi langsung dari Gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, yang mengirimkan surat agar gugatan sengketa pilwalkot Banjarbaru di Mahkamah Konstitusi segera dicabut.
Dalam surat tersebut, beragam pimpinan lembaga mulai dari Kapolda Kalsel, Ketua DPRD Kalsel, Pangdam VI Mulawarman, Kepala Kejaksaan Tinggi, hingga Kesbangpol Kalsel menandatangani permintaan pencabutan gugatan itu.
Selain intimidasi yang dilakukan oleh para pimpinan forkopimda itu, Denny juga menyebut ada sejumlah intimidasi dari penyelenggara dan pengawas pilwalkot.
Pertama, dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Banjarbaru yang memanggil 20 anggota dari lembaga pemantau pemilu, Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI), yang dipimpin Syarifah.
Setelah Bawaslu, giliran Polres Banjarbaru memanggil Syarifah untuk dimintai keterangan terkait dugaan tindak pidana Pasal 128 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 juncto Pasal 187D UU Nomor 10 Tahun 2016.
Pemeriksaan ini dilakukan pada 2-5 Mei 2025.
Dugaan intimidasi kemudian beralih ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Selatan.
Pada 4-7 Mei 2025, Syarifah dipanggil atas dugaan pelanggaran administrasi untuk pemberitaan hitung cepat yang diterbitkan media Newsway.co.id.
Dua hari setelah permintaan keterangan, tepatnya 9 Mei 2025, KPU Kalsel mencabut sertifikat lembaga pemantau dari LPRI, lembaga tempat Syarifah bernaung.
Berturut setelah sertifikat lembaga pemantau dicabut, polisi menetapkan Syarifah sebagai tersangka pada 12 Mei 2025.
Dalam sidang tersebut, Syarifah juga sempat mengadu kepada Hakim Konstitusi Arief Hidayat bahwa dia mengalami kriminalisasi dan sertifikat pemantau pemilu untuk LPRI dicabut.
Dia juga mengeluh tak mengerti mengapa dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Banjarbaru, Kalimantan Selatan.