NAGA138 – Integrasi Tata Ruang Laut dan Darat Jadi Tantangan Kelola Kawasan Pesisir di Kepri

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri Said Sudrajat Mazlan saat ditemui di Nikoi Resort, Pulau Nikoi, Bintan, Kepulauan Riau.

Lihat Foto

Kepulauan Riau (Kepri), Said Sudrajat Mazlan, menyebut integrasi tata ruang laut dan darat masih menjadi tantangan utama dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di provinsi tersebut.

Menurut Said, Kepri sebagai wilayah kepulauan dengan lebih dari 2.408 pulau, seluruhnya tergolong pulau kecil dan sangat kecil, yaitu kurang dari 2.000 km per segi.

Tentunya, dengan luas sekecil itu untuk ukuran pulau, memerlukan pendekatan perencanaan ruang yang terintegrasi antara darat dan laut.

Hal ini penting untuk memastikan pembangunan dan investasi berjalan berkelanjutan serta sesuai peruntukan.

“Kalau menurut identifikasi dan pemetaan kami, itu masih teridentifikasi beberapa lokasi yang belum sinkron antara peruntukan ruang darat dari pesisir pantai dan ruang laut. Ini perlu kita sinkron. Sebagai contoh, di daratnya ada peruntukan kawasan industri tapi di pantai dan di lautnya itu untuk kawasan perikanan budidaya,” ujar Said saat ditemui di Pulau Nikoi, Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (6/5/2025).

Ia menjelaskan, Kepri telah menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Namun, pengesahan rencana tersebut terkendala karena munculnya Undang-Undang Cipta Kerja yang mewajibkan sinkronisasi tata ruang darat dan laut.

“Itu merupakan amanah undang-undang untuk kita susun. Sudah selesai. Sudah mau pengesahan tapi ternyata terbit undang-undang tentang cipta kerja yang mengharuskan integrasi antara tata ruang darat dan tata ruang laut,” kata dia.

Selain itu, keterbatasan infrastruktur dasar di pulau-pulau kecil juga menjadi hambatan tersendiri.

Investor maupun pelaku usaha yang ingin membangun resort atau fasilitas lainnya harus membangun pelabuhan sendiri untuk mendukung mobilitas dan logistik.

“Jadi mereka harus membangun pelabuhan sendiri, tersus (Terminal Khusus) sendiri. Itu memang spesifik, berbeda dengan wilayah-wilayah seperti di pulau Jawa, pulau Sumatera, atau pulau-pulau besar, mereka sudah punya pelabuhan besar, dibangun oleh pemerintah. Kalau di sini (Kepri) tidak bisa, paling bangunnya di pelabuhan pulau-pulau besar, di pulau Bintan, seperti di pulau Batam,” jelas dia.

Tantangan lainnya dari tumpang tindih regulasi dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap konsep kawasan konservasi laut atau Marine Protected Area (MPA).

Said menyebut hal ini sebagai tantangan yang harus dijawab dengan pendekatan edukatif dan partisipatif, salah satunya melalui kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas).

“Tangan kita ini kan tidak bisa menjangkau semua sampai ke bawah. Maka ini kita memerlukan partisipasi semua pihak dan ini sudah juga mendapatkan payung pembentukannya, yaitu pokmaswas yang mewakili partisipasi masyarakat,” jelas dia.

Meski begitu, Said meyakini pengelolaan ruang laut yang baik akan memberikan manfaat ekonomi jangka panjang, termasuk dari sektor perikanan berkelanjutan, pariwisata, dan energi baru terbarukan.

“Bukan kita mengharamkan sektor lain atau kegiatan lain itu beraktifitas. Cuma kita atur, kita tata, supaya pengelolaan atau pemanfaatan itu dia berkelanjutan, berjangka panjang dan ramah lingkungan. Memang apapun kegiatan kita, kelestarian lingkungan itu adalah panglimanya. Itu prinsip kita,” ucap dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *