
Puan Maharani mengungkap, semua partai politik memiliki sikap yang sama bahwa pemilihan umum (pemilu) digelar setiap lima tahun sekali.
Hal tersebut disampaikan dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
“Semua partai politik mempunyai sikap yang sama, bahwa pemilu sesuai dengan undang-undangnya adalah dilakukan selama lima tahun,” ujar Puan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menyorot MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
Menurutnya, putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, karena membuat pemilihan anggota DPRD digelar bersama pilkada paling cepat dua tahun setelah pelantikan DPR/DPD atau presiden/wakil presiden.
“Jadi nanti pada saatnya kami semua partai politik, tentu saja sesuai dengan kewenangannya, akan menyikapi hal tersebut sesuai dengan kewenangan kami,” ujar Puan.
Rekayasa Konstitusi
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono Suroso mempersilakan pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional, dalam menindaklanjuti putusan yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
Hal tersebut disampaikannya dalam webinar yang digelar Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (10/7/2025).
“Jadi menurut saya, pembentuk undang-undang diberikan apa ya, keluasan oleh MK untuk melakukan rekayasa konstitusional, untuk memastikan apa yang disebut sebagai pemisahan pemilu nasional dan lokal itu tadi,” ujar Fajar dalam webinar, Kamis (10/7/2025).
MK setelah mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah pihak yang menunggu langkah pembentuk undang-undang dalam menindaklanjuti pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Fajar mengatakan, MK sendiri paham adanya konsekuensi akibat keluarnya putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
“Memang semua putusan, semua tindakan, semua pilihan itu ada konsekuensinya masing-masing gitu kan. Putusan MK yang seperti ini pasti ada kritiknya, pasti ada celahnya,” ujar Fajar.
“Ya itulah dinamika yang terjadi, termasuk pilihan-pilihan yang kita tunggu, yang itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang,” sambungnya.
Ia menjelaskan, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki landasan konstitusional, yuridis, dan teoretik yang kuat.
Oleh karena itu, Fajar menilai wajar jika ada kritik yang disampaikan kepada MK setelah mereka memutuskan untuk memisah pemilu nasional dan daerah mulai 2029.
“Terserah, sepanjang itu pilihannya berorientasi pada pemisahan pemilu itu tadi, maka itulah rekayasa konstitusional. Bagi saya, ya rumuskan saja, itu di dalam ketentuan transisional yang nanti akan dibentuk,” ujar Fajar.
Sebagai informasi, MK memutuskan memisah antara pemilu nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Dalam pertimbangan hukum, MK mengusulkan agar pemilihan legislatif (Pileg) DPRD yang bersamaan dengan pilkada digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden. Atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden/wakil presiden.